Dalam dunia yang ditandai oleh fragmentasi dan persaingan, transisi hijau merupakan keharusan yang mendesak sekaligus peluang strategis. Diplomasi lingkungan yang dulunya dianggap tidak penting kini muncul sebagai kerangka kerja utama untuk memahami hubungan internasional, memadukan kerja sama, persaingan, dan gagasan baru tentang kedaulatan energi.
Kebangkitan dan konsolidasi bidang diplomatik baru
Diplomasi lingkungan mulai terbentuk pada tahun 1970-an, dimulai dengan Konferensi Stockholm tahun 1972 dan memperoleh dukungan institusional melalui Earth Summit tahun 1992 di Rio. Pertemuan-pertemuan ini meletakkan dasar bagi konvensi lingkungan utama tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan penggurunan. Awalnya dianggap sebagai diplomasi tingkat tinggi yang marjinal, diplomasi ini terus berkembang penting, terutama dengan semakin relevannya pertemuan puncak COP (Conference of the Parties).
Perjanjian Paris 2015 menandai perubahan bersejarah, hampir setiap negara berkomitmen untuk membatasi pemanasan global. Di luar rincian teknisnya, perjanjian tersebut mencerminkan keinginan politik untuk menanamkan masalah lingkungan dalam tata kelola global. Perjanjian ini juga mengungkap garis patahan yang dalam antara negara-negara Utara dan Selatan, pencemar historis dan negara-negara ekonomi berkembang yang memperlihatkan betapa strategisnya transisi hijau.
Transisi hijau sebagai alat kekuasaan dan pengaruh
Negara-negara berinvestasi besar dalam teknologi bersih, energi terbarukan, hidrogen hijau, baterai, dan penangkapan karbon. Perlombaan inovasi ini membentuk kembali hierarki industri dan menciptakan ketergantungan baru. Tiongkok, misalnya, adalah pemimpin global dalam produksi panel surya dan kendaraan listrik, memposisikan dirinya di jantung ekonomi rendah karbon. Pergeseran ke energi bersih juga mengalihkan fokus dari bahan bakar fosil ke bahan-bahan penting seperti litium, kobalt, nikel, dan tanah jarang. Sumber daya yang penting untuk teknologi hijau ini terkonsentrasi di beberapa negara (seperti DRC, Chili, dan Tiongkok), yang mendorong konfigurasi ulang strategis. Negara-negara berlomba untuk mengamankan rantai pasokan dan membangun cadangan strategis. Beberapa negara menggunakan diplomasi lingkungan untuk meningkatkan pengaruh internasional mereka. Negara-negara kepulauan kecil seperti Maladewa dan Tuvalu, yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, telah memanfaatkan kesulitan mereka untuk memperkuat suara mereka secara global. Negara-negara lain, seperti Norwegia atau Kanada, memproyeksikan citra hijau untuk mendukung kebijakan energi yang terkadang kontroversial, yang menunjukkan bagaimana kepemimpinan ekologis dapat melayani kepentingan nasional.
Ketegangan dan kerjasama dalam tata kelola ekologi global
Memerangi perubahan iklim memerlukan koordinasi internasional, tetapi strateginya berbeda-beda. Uni Eropa mempromosikan regulasi yang ketat (seperti mekanisme penyesuaian perbatasan karbon), yang oleh beberapa negara produsen dianggap sebagai "proteksionisme hijau." Bergantung pada pemerintahannya, AS beralih antara kepemimpinan iklim dan isolasionisme, sementara Tiongkok memadukan diplomasi iklim dengan ekspansi komersial.
Meskipun paling tidak bertanggung jawab atas emisi historis, negara-negara di belahan bumi selatan paling menderita akibat dampak iklim. Mereka menuntut pengakuan atas kerentanan mereka, transfer teknologi, dan pendanaan iklim yang memadai. Dana Iklim Hijau, yang dimaksudkan untuk memobilisasi $100 miliar setiap tahun, telah menjadi simbol perjuangan ini dan penundaan berulang kali dari negara-negara utara dalam memenuhi janjinya.
Degradasi lingkungan dan kelangkaan sumber daya (misalnya, air, lahan pertanian, keanekaragaman hayati) dapat memperburuk ketegangan, terutama di wilayah yang sudah rapuh seperti Sahel atau Asia Tengah. Namun, kerja sama lingkungan juga merupakan alat untuk perdamaian: daerah aliran sungai bersama (seperti Sungai Nil atau Mekong), perjanjian hutan regional, dan inisiatif keanekaragaman hayati lintas batas menunjukkan potensi diplomasi hijau untuk mendorong stabilitas.
Setiap tahun, lebih dari 11 juta ton sampah plastik berakhir di lautan, angka yang dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2040 tanpa tindakan global yang terkoordinasi. Polusi ini bukan hanya bencana ekologi yang mengancam keanekaragaman hayati laut, mencemari rantai makanan, dan membahayakan kesehatan manusia, tetapi juga masalah ekonomi dan geopolitik. Arus laut mengabaikan batas negara, menjadikan polusi plastik sebagai masalah transnasional yang mendasar. Sungai-sungai seperti Yangtze, Gangga, Mekong, atau Niger mengangkut sebagian besar sampah ini ke laut, yang menyiratkan perlunya kerja sama antarnegara untuk bertindak efektif di hulu. Menanggapi skala krisis, masyarakat internasional sedang memobilisasi. Pada bulan Maret 2022, Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA) meluncurkan proses bersejarah untuk menegosiasikan perjanjian global yang mengikat secara hukum tentang polusi plastik, yang mencakup produksi, penggunaan, dan akhir masa pakainya. Tujuannya adalah untuk mencapai kesepakatan pada tahun 2025.
Prakarsa ini merupakan langkah maju yang besar. Ini menandai pengakuan resmi akan perlunya kerangka kerja global, serupa dengan Perjanjian Paris untuk iklim. Namun, negosiasi sudah mengungkap perbedaan: beberapa negara penghasil plastik utama (seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Arab Saudi) lebih memilih solusi sukarela atau teknis, sementara yang lain (termasuk Uni Eropa, Rwanda, dan Peru) menganjurkan pembatasan ketat pada produksi dan konsumsi.
Pengelolaan limbah plastik menimbulkan pertanyaan tentang kedaulatan. Beberapa negara di belahan bumi selatan, penerima lama limbah plastik yang diekspor dari belahan bumi utara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia telah mulai menolak atau mengembalikan kiriman limbah impor, mengecam apa yang mereka sebut sebagai “kolonialisme limbah.” Ketegangan ini mencerminkan penegasan kembali kedaulatan ekologis yang lebih luas dan dorongan untuk mendefinisikan ulang tanggung jawab historis dan saat ini atas polusi. Pada saat yang sama, penyebaran “zona mati” di perairan pesisir secara langsung memengaruhi ketahanan pangan di banyak wilayah, khususnya di Afrika Barat dan Asia Tenggara, yang memperkuat gagasan bahwa polusi plastik juga merupakan masalah keamanan manusia.
Menghadapi kelesuan dari negara-negara besar, koalisi-koalisi baru bermunculan. Kampanye Laut Bersih, yang diprakarsai oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), menyatukan lebih dari 60 negara yang berkomitmen untuk mengurangi plastik sekali pakai. Prakarsa lain, seperti Kemitraan Aksi Plastik Global, menyatukan pemerintah, bisnis, dan LSM untuk mempercepat daur ulang, menghilangkan plastik sekali pakai, dan mempromosikan ekonomi sirkular.
LSM lingkungan, seperti Ocean Conservancy dan Surfrider Foundation, memainkan peran diplomatik yang tidak resmi tetapi penting. Mereka mendokumentasikan polusi, memengaruhi negosiasi, dan menyatukan mobilisasi warga internasional, mengubah pembersihan pantai menjadi tindakan politik. LSM lain, seperti Ocean Alliance Conservation Member (didorong oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa), sepenuhnya memikirkan kembali model ekonomi global dengan menegosiasikan kemitraan secara langsung (OACM SOS: Program Konservasi Solusi Laut Berkelanjutan) dengan pemerintah dan perusahaan internasional besar, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Kemitraan ini memungkinkan pengembangan program pembersihan pantai dan pesisir (Proses Sertifikasi White Flag CSMA/Sistem Pembersihan Laut Berkelanjutan SOCS) yang menjamin kebersihan lokasi, sertifikasinya (Area Laut SAFE Bersertifikat CSMA), dan pemantauannya menggunakan teknologi baru (Sistem Komunikasi CEPS & GEPN). Model ini membantu memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya pariwisata (Investasi Pengembangan Pariwisata Laut Berkelanjutan), sekaligus melestarikan samudra, laut, danau, dan sungai.
Menuju diplomasi ekologi transnasional? Aktor baru, paradigma baru
Diplomasi lingkungan tidak lagi menjadi ranah eksklusif negara. Kota, korporasi, LSM, yayasan, dan gerakan akar rumput semakin menerapkan solusi ekologis yang nyata. Koalisi seperti Under2 Coalition atau C40 Cities menyatukan kota-kota besar yang berkomitmen pada netralitas karbon. Sementara itu, korporasi yang mendapat tekanan dari konsumen dan pasar mengadopsi janji-janji iklim yang berani, dalam beberapa kasus melampaui pemerintah.
Masyarakat sipil memainkan peran penting dalam membentuk agenda lingkungan global. Dari aktivis muda hingga kasus hukum besar, diplomasi iklim semakin didorong “dari bawah.” Gerakan-gerakan ini mendefinisikan ulang kedaulatan rakyat seputar pertahanan dunia yang hidup.
Mengingat kompleksitas tantangan saat ini, pendekatan sistemik sangatlah penting. Masalah lingkungan tidak dapat lagi dipisahkan dari perdagangan, hak asasi manusia, keamanan, atau keadilan sosial. Diplomasi lingkungan holistik memperlakukan ekologi sebagai lensa global untuk memahami kepentingan nasional dan kesejahteraan kolektif. Visi ini meletakkan dasar bagi jenis kekuatan baru, hijau, kooperatif, dan berorientasi masa depan.
Diplomasi lingkungan membentuk kembali dinamika kekuatan internasional. Diplomasi ini tidak menggantikan logika geopolitik tradisional, tetapi mengubahnya secara mendasar. Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, energi, dan politik, diplomasi lingkungan menawarkan medan untuk konfrontasi dan konvergensi. Diplomasi lingkungan memaksa negara untuk memikirkan kembali kepentingan jangka panjang, melampaui kedaulatan nasional, dan menciptakan bahasa kekuatan baru yang berakar pada tanggung jawab, kerja sama, dan keberlanjutan. Masa depan pembangunan berkelanjutan tidak hanya akan ditulis di ruang negosiasi, tetapi juga dalam perjuangan lokal, inovasi teknologi, dan mobilisasi global. Di persimpangan ini, geopolitik abad ke-21 mulai terbentuk.